"Ya TUHAN, Tuhan kami, betapa mulianya namaMu di seluruh bumi..." [Mazmur 8:2].
Nama-Nama Allah yang dinyatakan didalam Alkitab mengungkapkan dan mewahyukan siapakah Allah sebenarnya. Nama-Nama Allah ini sangat bermakna, bahkan pemazmur berkata, "betapa mulianya namaMu...". Didalam Perjanjian Lama, ada tiga Nama Allah yang utama, yaitu Elohim (Allah), Yehovah (TUHAN), dan Adonai (Tuhan). Makna dari Nama Elohim adalah Pencipta yang Perkasa. Makna Nama Yehovah adalah Pribadi yang ada dengan sendirinya. Sedangkan makna Nama Adonai adalah Tuan dari seorang hamba. Selain tiga Nama Allah yang utama ini, ada puluhan Nama-Nama gabungan, sebagai contoh Yehovah Elohim (Kejadian 2:4), Adonai Yehovah (Kejadian 15:2), Adonai Elohim (Daniel 9:3).
Didalam Perjanjian baru, ada tiga Nama utama yang digunakan yaitu Theos, Kurios, dan Pater. Nama Theos mempunyai makna yang sama dengan Nama Allah didalam PL, yaitu El, Elohim, dan Elyon. Nama Theos adalah Nama yang umum digunakan bagi Nama Allah. Nama Kurios yang berarti Penguasa Tunggal, dapat disamakan maknanya dengan Nama Adonai. Sedangkan Nama Pater berarti Bapa, dan Nama ini digunakan oleh Tuhan Yesus untuk mengungkapkan hubunganNya dengan Bapa di Sorga.
Pemahaman Allah yang adalah Keluarga terungkap melalui NamaNya. Seperti kita ketahui didalam suatu keluarga ada seorang bapa, ibu dan anak, maka melalui NamaNya juga terungkap Allah sebagai Bapa, sebagai Ibu, dan sebagai Anak. Allah sebagai Bapa dan Allah sebagai Anak, diperkenalkan oleh Yesus kepada para pemimpin agama Yahudi, yang tercatat terutama didalam Injil Yohanes. Bagi para pemimpin Yahudi, pernyataan Yesus yang menegaskan bahwa Allah adalah BapaNya, sama dengan menyatakan bahwa diriNya adalah juga Allah (Yoh. 10:33). Dan Yesus dengan tegas menyatakan bahwa Ia adalah Anak Allah. Jadi, baik Allah sebagai Bapa, maupun Allah sebagai Anak, telah dinyatakan oleh Yesus.
Sementara itu, Allah sebagai Ibu terungkap didalam Nama El Shaddai. Nama El Shaddai adalah Nama gabungan yang terdiri dari El, yang berarti Pencipta yang perkasa, dan Shaddai, yang berarti Maha Kuasa. Tetapi kata Shaddai dan kata Shad, walaupun dua kata yang berbeda namun bermakna sama yaitu buah dada (seperti dalam Kej. 49:25, Ayub 3:12, dan Maz. 22:10). Jadi, El Shaddai adalah Allah yang Maha Kuasa yang menyediakan kebutuhan UmatNya, seperti seorang Ibu yang menyusui anaknya.
Didalam Kej. 1:2 ada tertulis, "...Roh Allah melayang-layang diatas permukaan air". Kata melayang-layang biasanya dipakai untuk melukiskan seekor burung yang sedang mengerami telur atau anak-anaknya yang masih kecil didalam sarangnya. Ini juga berbicara Allah sebagai ibu. Demikian juga dengan lahir dari Roh, suatu istilah yang muncul didalam PB, juga mengungkapkan Allah sebagai Ibu.
Jadi, Allah sebagai Bapa, Allah sebagai Ibu, maupun Allah sebagai Anak, terungkap melalui Nama-NamaNya. Dan Bapa, Ibu serta Anak, adalah suatu Keluarga.
"...Sebab Ia telah menyatakan rahasia kehendakNya kepada kita..." [ Efesus 1:3-14 ].
Didalam renungan keluarga ini, kita akan melihat bagaimana Allah, yang adalah Keluarga Sejati itu, memiliki kehendak dan rencana. Kehendak dan rencanaNya ini dilaksanakan bersama-sama secara Keluarga, sebagaimana yang diuraikan dalam Efesus 1:3-14.
Dalam ayat 5 diuraikan bagaimana Allah Bapa, "...menentukan kita dari semula oleh Yesus Kristus untuk menjadi anak-anakNya, sesuai dengan kerelaan kehendakNya". Bapa yang memiliki Anak TunggalNya, kita lihat disini, menghendaki kita juga agar menjadi anak-anakNya. Karena kehendak Bapa ini, Yesus tidak malu menyebut kita saudaraNya, seperti tertulis dalam Ibrani 2:12, "...Aku akan memberitakan namaMu kepada saudara-saudaraKu...". Namun hubungan Yesus dengan Allah Bapa tetaplah unik dan berbeda. Itu sebabnya Ia tidak berkata tentang Allah sebagai Bapa kita, melainkan Bapamu dan BapaKu.
Tetapi, sebagaimana tertulis pada ayat 5, penentuan dan penetapan kita sebagai anak-anakNya, adalah melalui Yesus Kristus. Artinya, Yesus perlu mengalami kematian di kayu salib dan mencurahkan darahNya untuk pengampunan dosa, serta dibangkitkan dan naik kesorga, sebelum kita dapat dilahirkan oleh Roh dan menjadi anak-anakNya.
Bukan hanya dilahirkan oleh Roh, tetapi kita juga dimeteraikan dengan Roh Kudus. Pemeteraian kita dengan Roh Kudus ini merupakan suatu jaminan / panjar (dp = down payment), bahwa kita akan menerima keseluruhannya yaitu penebusan yang menjadikan kita milik Allah [ ayat 14 ].
Kita lihat disini bagaimana Allah yang adalah Keluarga, secara bersama-sama menjalankan kehendakNya, dimana tujuan akhirnya adalah, "...in the dispensation of the fullness of the times He might gather together in one all things in Christ...[ 1:10, The New KJV ]. Jadi, inilah misteri (rahasia) kehendakNya, yaitu pada dispensasi kegenapan waktu, Ia dapat mempersatukan segala sesuatu didalam Kristus.
Tetapi, yang akan kita renungkan disini adalah bagaimana Allah menjalankan rencana dan kehendakNya secara Keluarga. Oleh sebab itu, kita yang melayaniNya, dalam arti menjalankan kehendakNya di muka bumi ini, haruslah melakukannya secara keluarga. Bapa, Ibu dan anak-anak didalam suatu keluarga Kristen, haruslah berfungsi sesuai peranannya dalam keluarga, untuk melayani Tuhan dan menggenapi kehendakNya.
Didalam Efesus 1:3-14, kita lihat bagaimana Bapa merencanakan, Anak melaksanakan dan Roh menolong serta memberi kekuatan, sehingga kehendakNya jadi, demikian juga diharapkan terjadi didalam suatu keluarga Kristen. Apabila didalam suatu keluarga kristen, hanya salah satu anggotanya saja yang melayani Tuhan, maka hal ini belum sejalan dengan rencanaNya. Bahkan, jika bapa, ibu dan anak-anak aktif didalam kegiatan kekristenan, tetapi tidak bekerja sama sebagai tim yang sehati sepikir, maka barangkali ini belum dapat disebut sebagai melakukan kehendakNya. Kita perlu merenungkan hal ini, terutama para bapa sebagai kepala keluarga.
"...Akulah Allah Yang Mahakuasa (El Shaddai), hiduplah dihadapanKu dengan tidak bercela" [ Kej. 17:1 ].
Telah kita ketahui bahwa Allah yang menyatakan Diri sebagai Ibu terungkap didalam Nama El Shaddai. Nama El Shaddai adalah Nama gabungan yang terdiri dari El, yang berarti Pencipta yang perkasa, dan Shaddai, yang berarti Maha Kuasa. Tetapi kata Shaddai dan kata Shad, walaupun dua kata yang berbeda namun bermakna sama yaitu buah dada (seperti dalam Kej. 49:25, Ayub 3:12, dan Maz. 22:10). Jadi, El Shaddai adalah Allah yang Maha Kuasa yang menyediakan kebutuhan UmatNya, seperti seorang Ibu yang menyusui anaknya.
Dalam konteks yang bagaimana El Shaddai pertama kali menyatakan DiriNya ? Kejadian 17:1 adalah pertama kali Allah menyatakan Diri sebagai El Shaddai, dan disini El Shaddai menegur Abram agar hidup dihadapanNya dengan tidak bercela. Memang Abram telah gagal, ketika ia mendengarkan usul Sarai untuk menghampiri Hagar. Sekalipun Ismael diberkati juga, namun perjanjian Allah tetap akan diadakan dengan Ishak yang akan dilahirkan Sarai (17:20-21). Jadi, El Shaddai memenuhi kebutuhan Abram seperti seorang Ibu memenuhi kebutuhan anaknya, namun dengan cara memberi teguran.
Tetapi, teguran El Shaddai adalah teguran yang penuh berkat serta memenuhi kebutuhan UmatNya, seperti seorang Ibu yang menyusui anaknya. Dalam Kejadian 17, teguran El Shaddai memulihkan Abram. Sejak saat itu, Abram berubah menjadi Abraham, dan perjanjian sunat-pun dimulai. Demikian juga dengan Naomi, yang dipulangkan dari daerah Moab oleh teguran El Shaddai (Rut 1:20). Sekalipun Naomi menganggap dirinya mengalami malapetaka, namun justru melalui teguran El Shaddai, maka kehidupannya dipulihkan dan ia mendapat anak melalui Rut, yang pada gilirannya menurunkan raja Daud.
Karena fungsi dan peran El Shaddai dalam keluarga Kristen, terutama dijalankan oleh seorang isteri atau ibu. Seorang isteri atau ibu memang diharapkan dapat memberi teguran-teguran yang memenuhi kebutuhan, bukan seperti "teguran" Sarai kepada Abram yang ternyata melahirkan Ismael. Jika seorang isteri Kristen memiliki karakter seperti El Shaddai, maka teguran-tegurannya, baik kepada suami atau kepada anak-anak, akan memulihkan dan memberkati keluarga. Jika sebaliknya yang terjadi, maka teguran seorang isteri atau seorang ibu akan menjadi kritikan-kritikan pedas yang merusak, bahkan mungkin ia digelari "perempuan cerewet".
Seorang suami juga perlu belajar menerima teguran-teguran dari isterinya, begitu juga anak-anak. Karena seorang isteri atau ibu, akan memulihkan dan memberkati keluarga melalui teguran-tegurannya, sepanjang karakternya bertumbuh menjadi seperti El Shaddai. Semoga demikian yang terjadi dalam keluarga-keluarga Kristen.
Sumber : Klik disini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar